Sejauhmana agama berkaitan dengan kesehatan mental kita? Mari kita kaji dari perspektif ilmu psikologi.
Agama didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan, praktek-praktek, dan simbol-simbol yang tertata dan didisain untuk memungkinkan kedekatan seseorang dengan Tuhan. Tingkat keterlibatan seseorang dan signifikansi pribadi yang melekat pada sistem tersebut (Levin & Schhiller, 1987; Baldachino, 2003).
Ada dua orientasi agama, Orientasi ekstrinsik dan Orientasi intrinsik. Orientasi Ekstrinsik (OE) adalah orientasi yang menjadikan agama sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bersifat melayani diri sendiri, mendapatkan dukungan sosial, kenyamanan, dan harga diri. Sedangkan orientasi intrinsik (OI) bertujuan untuk mendapatkan hubungan yang lebih bermakna dan mendalam dengan Tuhan serta mengarah pada pengembangan sisi spiritual yang bersifat personal (Allport & Ross, 1959; Hunter & Miller, 2013; Hills, dkk,2004).
Orang-orang dengan orientasi OE cenderung dominan pada pencapaian-pencapaian tujuan yang bersifat egoistis (immature faith), sebaliknya orang dengan orientasi OI menjadikan agama berfungsi sebagai way of life (Tiliopoulos, dkk, 2007).
Studi-studi empiris menunjukkan bahwa orang-orang dengan orientasi OI memiliki mental yang lebih sehat dibandingkan dengan orang-orang dengan orientasi OE.
Semakin tinggi orientasi OI, semakin rendah tingkat depresi dan stressnya (Crystall dkk, 1990). Orang-orang dengan OI tinggi juga cenderung memiliki sifat kehati-hatian yang tinggi (Masters & Knestel, 2011). Riset-riset lainnya juga memperlihatkan korelasi positif antara OI dengan kesehatan mental dan fisik yang lebih baik. Artinya semakin tinggi OI, semakin baik pula kondisi fisik dan mentalnya (Smith dkk, 2004; Master dkk, 2005; Salsma & Carlson 2005).
Kedua orientasi ini juga berhubungan dengan sifat toleransi, rasis dan prasangka. Orang-orang dengan OI tinggi cenderung memiliki toleransi yang tinggi juga. Sebaliknya, semakin tinggi OE semakin tinggi pula sifat rasis dan prasangkanya (Allport & Ross, 1967).
Hasil studi empiris yang menarik lainnya adalah OI merupakan faktor protektif terhadap mental illness (penyakit jiwa).
Sebaliknya OE diklasifikasikan sebagai faktor risiko dalam hal penyakit jiwa (Hunter & Merril, 2013). OE juga menjadi faktor yang signifikan berhubungan dengan kecemasan, depresi, dan kebencian (Kuyel dkk, 2012).
Mencermati riset-riset empiris di atas, tidakkah sebaiknya agama menjadi cara untuk kita mengembangkan sisi spiritual daripada sekedar untuk harga diri atau kenyamanan sosial?
Dengan memfungsikan agama sebagai cara mendekatkan diri kepada Tuhan, maka alangkah indahnya bila dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain, kita memberi tempat yang luas pada kebaikan, sifat menyayangi dan mudah memaafkan. Sebaliknya, kita tidak memberi tempat yang terlalu tinggi pada kebenaran-kebenaran yang bersifat dogmatis dan penghinaan pada ajaran-ajaran yang berbeda.
Pada akhirnya, sebagaimana pepatah tua bilang, apa yang kau tanam, itu pula yang kau tuai, itulah yang akan berlaku dalam hidup ini.